
Bagi yang pernah mengalami krisis ekonomi tahun 1997, masih segar dalam ingatan berbagai hal yang menyeramkan terjadi. Banyak perusahaan yang akhirnya harus tutup kegiatannya. Tidak Sedikit kantor atau bisnis yang berhenti dan bubar. Orang harus Antri susu bayi yang harganya tiba-tiba naik tinggi dan persediaannya terbatas. Susu bayi banyak mengandung komponen impor sehingga begitu Kurs dolar naik, maka harga pun meroket. Sementara itu ATM di serbu karena panik. Orang Ingin pegang uang kas, akibat pengumuman penutupan bank dan Industri perbankan menjadi lumpuh. Kekhawatiran akan krisis ekonomi kembali menghantui Indonesia, terutama dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang telah menembus angka Rp16.400. Angka ini angka psikologis ketika krisis terjadi. Tulisan untuk menjawab, Bagaimana Analisis Prediksi Krisis Ekonomi Indonesia: Mengulang Sejarah 1997?
Kondisi Ekonomi Saat Ini vs. 1997
Nilai Tukar
1997: Nilai tukar rupiah anjlok dari sekitar Rp2.500 per dolar AS pada awal tahun menjadi lebih dari Rp16.000 pada awal 1998. Saat ini: Per Mei 2024, nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp16.400 per dolar AS. Meskipun terjadi pelemahan, pergerakannya relatif lebih terkendali dibandingkan 1997. Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas.
Cadangan Devisa:
1997: Cadangan devisa Indonesia sangat terbatas, hanya sekitar 17 Miliar dollar AS, sehingga tidak mampu menahan tekanan terhadap rupiah.
Saat ini: Per Mei 2024, posisi cadangan devisa Indonesia sebesar 139 Miliar dollar AS. Ini memberikan bantalan yang jauh lebih kuat untuk menghadapi gejolak eksternal.
Utang Luar Negeri:
1997: Utang luar negeri Indonesia mencapai sekitar 137% dari PDB, dengan sebagian besar adalah utang swasta yang jatuh tempo dalam waktu singkat.
Pada tahun 2025, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diproyeksikan mencapai sekitar 40,4%. Per Januari 2025, total utang pemerintah tercatat sebesar Rp8.909,14 triliun.
Selain itu, utang luar negeri (ULN) Indonesia, yang mencakup sektor pemerintah dan swasta, memiliki rasio terhadap PDB sebesar 30,4% pada triwulan IV 2024. Namun, data spesifik mengenai total utang yang mencakup pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan sektor swasta secara keseluruhan terhadap PDB belum tersedia secara lengkap. Beberapa sumber memperkirakan bahwa jika utang pemerintah, BUMN, dan sektor swasta digabungkan, rasio utang terhadap PDB dapat mencapai sekitar 75%.
Penting untuk dicatat bahwa batas aman rasio utang terhadap PDB yang ditetapkan oleh Undang-Undang Keuangan Negara adalah 60%. Oleh karena itu, meskipun rasio utang pemerintah diproyeksikan berada di bawah batas tersebut, peningkatan utang secara keseluruhan, termasuk utang BUMN dan sektor swasta, perlu dikelola dengan hati-hati untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Nilai Ekspor
1997: Indonesia sangat bergantung pada ekspor komoditas. Ketika harga komoditas jatuh, ekspor menurun drastis. Saat ini: Diversifikasi ekspor Indonesia lebih baik, meskipun komoditas masih dominan. Per April 2024, nilai ekspor Indonesia mencapai 19,62 miliar dollar AS dan Impor 16,02 miliar dollar AS. Indonesia mengalami surplus perdagangan. Namun, fluktuasi harga komoditas global tetap menjadi risiko.
Komoditas Ekspor Utama Indonesia
- Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan Republik Minyak Kelapa Sawit dan Produk Turunannya: 19,19 miliar dolar AS (Januari-Oktober 2023).
- Tekstil dan Produk Tekstil (TPT): 9,77 miliar dolar AS (Januari-Oktober 2023).
- Kendaraan Bermotor dan Bagiannya: 9,25 miliar dolar AS (Januari-Oktober 2023).
- Produk Hasil Hutan: 8,40 miliar dolar AS (Januari-Oktober 2023).
- Besi dan Baja: US$26,70 miliar (2023).
- Bahan Bakar Mineral: Komoditas ini juga menjadi salah satu penghasil devisa yang besar bagi Indonesia. Nilai ekspor pada periode Januari-Oktober 2023 mencapai sekitar 33,52 miliar dolar AS.
- Mesin dan Peralatan Listrik:Sektor ini semakin berkembang seiring dengan peningkatan industri manufaktur. Nilai ekspor pada periode Januari-Oktober 2023 mencapai sekitar 5,59 miliar dolar AS.
- Karet dan Barang dari Karet:Indonesia merupakan salah satu produsen karet terbesar di dunia. Nilai ekspor pada periode Januari-Oktober 2023 mencapai sekitar 4,87 miliar dolar AS.
- Alas Kaki: Sektor ini juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap ekspor non-migas. Nilai ekspor pada periode Januari-Oktober 2023 mencapai sekitar 4,37 miliar dolar AS.
- Produk Kimia Organik Sektor ini juga mengalami peningkatan ekspor seiring dengan perkembangan industri kimia. Nilai ekspor pada periode Januari-Oktober 2023 mencapai sekitar 4,24 miliar dolar AS.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
IPK mencerminkan tingkat korupsi di suatu negara. Korupsi dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Indonesia terus berupaya meningkatkan IPK-nya. Namun ini harus terus di tingkatkan. Perlu adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Korupsi di Indonesia semakin hari semakin mencemaskan, Selain karena semakin banyak juga kuantitasnya semakin membesar. Dugaan Korupsi satu perusahaan Pertamina, besaran nya hampir mendekati 1.000 triliun.
APBN yang sehat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Pemerintah perlu menjaga defisit APBN agar tetap terkendali. Prioritas belanja harus fokus pada sektor-sektor produktif. Perlu adanya peningkatan pendapatan negara, melalui pajak dan lain lain.
Stabilitas Politik dan Sosial Nasional dan Global
1997: Krisis ekonomi diperparah oleh ketidakstabilan politik dan sosial yang parah. Saat ini: Kondisi politik dan sosial Indonesia relatif stabil, meskipun tantangan seperti polarisasi masih ada.
Kebijakan proteksi AS, seperti perang dagang dengan Tiongkok dan tarif impor, memberikan dampak signifikan pada ekonomi global, termasuk Indonesia:
Gangguan Rantai Pasok: Perang dagang mengganggu rantai pasok global, yang berdampak pada ekspor-impor Indonesia.
Ketidakpastian Global: Kebijakan proteksi menciptakan ketidakpastian global, yang memengaruhi aliran modal dan investasi ke negara berkembang seperti Indonesia.
Tekanan pada Nilai Tukar: Kebijakan AS dapat memperkuat dolar AS, yang memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah.
Bagaimana Prediksi Kemungkinan Krisis Terulang?
Meskipun ada tantangan, seperti berbagai faktor diatas, kemungkinan Indonesia mengalami krisis seperti tahun 1997 relatif kecil. Faktor-faktor yang mendukung: Cadangan devisa yang jauh lebih kuat. Struktur utang luar negeri yang lebih terkendali. Kebijakan moneter yang lebih responsif.
Pengawasan sektor keuangan yang lebih baik. Namun, Indonesia perlu tetap waspada terhadap risiko: Gejolak eksternal yang tidak terduga. Ketergantungan pada modal asing. Potensi kenaikan inflasi. Dampak dari kebijakan ekonomi negara besar, seperti Amerika Serikat.
Indonesia telah belajar dari pengalaman krisis 1997-1998 dan menerapkan kebijakan yang lebih baik. Meskipun tantangan selalu ada, fondasi ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat.
Pemerintah dan BI perlu terus memantau perkembangan ekonomi global dan domestik. Diversifikasi ekonomi perlu dipercepat untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas.
Penguatan sektor keuangan perlu terus dilakukan. Kerja sama dengan negara lain, untuk mengurangi dampak dari kebijakan proteksi negara tertentu. Menjaga stabilitas politik dan sosial.
Gambar ilustrasi di awal tulisan ini adalah cerminan bagaimana bila terjadi penghentian kegiatan kantor karena krisis. Situasi menjadi semerawut dan mencekam. Untuk itu perlu transparansi data dari pemerintah dan juga pengawasan dari masyarakat secara terus menerus. Tulisan ini adalah salah satunya untuk memberikan umpan balik agar Sejarah Krisis ekonomi 1997 tidak terjadi lagi.